We Climbed the Hill in Our Own Way!
Gunung Sibayak, gunung yang terletak di daerah kota Berastagi, Sumatera
Utara. Memiliki ketinggian sekitar 2.212 m atau 7.26 kaki dari atas permukaan
air laut.
Gunung ini memiliki tiga jalur pendakian;
Yang pertama, Jalur dengan tingkat kesulitan yang terbilang mudah , atau biasanya di sebut jalur turis/jalur pariwisata. Jalur ini terletak di desa Jaranguda, 10 Km dari Kota Berastagi. waktu pendakian kurang lebih 1-2 setengah jam.
Jalur Kedua, dengan tingkat kesulitan sedang , terletak di desa Semangat gunung di daerah pemandian air panas Sidebuk debuk.
Jalur ketiga, yaitu jalur yang paling sulit yang biasa disebut jalur 54, terletak di penatapan, tepatnya di penatapan yang dimana orang orang cenderung berfoto foto, karena memiliki view lebih bagus dibanding penatapan lainnya. Pada jalur ini lebih menggunakan jalur hutan, makanya terbilang ekstrim.
Awalnya ide mendaki ini muncul dari kawan saya Sinarta yang memiliki jalan pikir cukup berbeda dari manusia manusia biasanya. Sinarta memiliki target hidup yang cukup berbeda, "Trik, kita liburan ke hutan yok! 2-3 hari kita tinggal di hutan, bermodalkan pisau untuk bertahan hidup, gimana?"
Ini bukan rekayasa, Sinarta memang demikian, pernah lagi sangking frustasinya saat menghadapi ujian di kampus kami,
"Entahlah we, kayaknya aku gak cocok di kedokteran, gimana kalau nanti besar aku tinggal di hutan aja ya. Kayaknya lebih tenang.."
Sedikit intro untuk patner saya, Sinarta. Namun karena idenya ini yang buat saya berpikir untuk melewati jalur 54, dan kebetulan saat itu juga ada adik junior kami yang mendaki melewati jalur hutan hutan. Maka untuk mencapai satu target hidup dari seorang Sinarta, maka kami mendaki Sibayak menggunakan jalur tersebut.
Awalnya kami tidak tau nama jalurnya adalah jalur 54, setelah mencari info dari berbagai blog di internet, barulah kami tau seluk beluk mengenai jalur-jalur di Gunung Sibayak seperti yang dijelaskan di atas, dan bukannya saya mau menjelek-jelekkan blog tetangga, namun setelah menjalani jalur 54, belum ada blog yang saya rasa cukup akurat untuk menjelaskan ke ekstriman jalur tersebut. Bahkan kami tertipu kalau jalur tersebut membutuhkan 2-3 jam untuk mendaki, atau entah kami yang terlalu bodoh dalam mendaki sehingga perjalanan kami totalnya menjadi kurang lebih 6 jam.
Untuk mengetahui gambaran jalur tersebut, silahkan cek dari YouTube ada 2 video dokumentasi yang merekam perjalanan mereka menggunakan jalur 54.
Kami tidak berhasil menyimpan foto gimana terjalnya jalur tersebut, karena kami pergi saat malam hari. Ya, malam hari, kami si bodoh-bodoh yang malang, yang tidak punya pengalaman mendaki, dan tidak tahu jalur tersebut nekat-nekatan mendaki menggunakan jalur tersebut pada malam hari. Kalau diumpamakan di film film horror, kami lah orang orang yang sok belagu, yang jadi korban pertama hantunya...
Persiapan kami sebenarnya cukup maksimal, 3 hari sebelum pendakian kami mempersiapkan alat, bahan dan survey ketempatnya. Saat survey, di hutan sana sebenarnya kalau berangkat siang sangat simpel, karena di hutan sana ada pita-pita yang sangat membantu untuk menuntun jalur kita, yang dibutuhkan buat teman-teman yang mau mendaki ialah kesiapan fisik, karena memang jalur yang dilalui sangat jauh jadi sangat melelahkan. Untuk ke penatapannya bisa menggunakan mobil sendiri, bisa dititipkan di penatapan tersebut, atau jika tidak merasa aman, bisa menggunakan Sinabung/Borneo.
Untuk alat kemah dan lain-lain, saya rekomendasikan untuk menyewa di Sohib Camp, di ruko yang terletak di simpang RingRoad setiabudi, tepat sebelum lampu merah, servicenya sangat baik dan alatnya cukup lengkap. Hanya pasukan saja kami yang tidak punya, banyak teman-teman kami yang berhalangan untuk bisa ikut mendaki. Entah mereka juga menolak karena berpikir kalau kami sedikit gila, karena itu akhirnya kami mendaki hanya berdua saja.
Dengan pengalaman minim, modal seadanya, dan keberanian yang berlebihan, kami mendaki pada 14 Maret 2015, pada pukul 17.30. Karena dari awal kami hanya berdua, jadi untuk membawa perlengkapan, ada sekitar kurang lebih 15-16 kg perorang, kami cukup terbebani. Kami yang berangkat sore awalnya memiliki tantangan untuk menjaga stamina saat mendaki, karena ini sangat melelahkan, mendaki dengan beban dan tanpa beban sangat jauh berbeda. Tubuh yang belum beradaptasi dengan perubahan kadar oksigen saat mendaki, dan beban berat tersebut cukup membuat jantung berdebar kencang, apalagi buat orang-orang yang masih tergolong jarang berolahraga.
Kemudian tantangan kami muncul saat hari sudah mulai gelap, walaupun petunjuk jalan yang berupa pitanya tampak selalu ada untuk menuntun kami setiap 5-15 meter, namun saat hari gelap, susah untuk menemukan pita tersebut, karena panjang pita yang diikatkan tergolong pendek.
Masih teringat jelas di pikiran kami, pengalaman yang cukup menakutkan, disaat maghrib menjelang malam, ditengah kesunyian hutan, saat semua serangga dan binatang berbunyi bunyi saling bersahutan, dan semakin keras suaranya saat kami melangkah, seakan akan mereka sangat dekat dengan kami. Saat itu kami hanya bisa terdiam, karena tidak mau menarik perhatian mereka.
Hari makin gelap, pita-pita petunjuk semakin susah ditemukan, yang saya tidak habis pikir sempat-sempatnya saya menegur Sinarta karena dia bersikeras untuk menggunakan Pen Light (alat senter kedokteran yang digunakan untuk melihat reflek mata) untuk melihat jalan yang kami lalui, Sinarta memang ajaib. Untung kami membawa senter yang cukup baik untuk menuntun jalan kami, tanpa senter itu mungkin kami bakal tersesat bahkan tidak sampai tujuan, padahal kami nyaris tidak membawa senter karena susah mendapatkan senter batere sekarang, kami menemukan senter ini saja di Alfamart daerah RSU. Adam Malik, ragu pula kami beli karena kemahalan.
Karena kami dari awalnya sudah membaca blog mengenai jalur ini (yang sesat) sepanjang jalan kami terus berharap kalau jalur ini dapat di tempuh 3-4 jam, harapan kami terus hidup sampai saat pukul menunjukan jam 8.30, kami beristirahat di salah satu camp site yang pernah digunakan anak anak Mapala, saat itu terdengar suara perempuan berteriak teriak seperti bermain main, ramai-ramai, dan ada suara laki-laki juga, seakan akan kami memang sudah dekat dengan puncak Sibayak, saat itu harapan kami makin besar, kami senang bahwa tujuan kami sudah dekat. Kami beristirahat cukup lama disitu, bercerita cerita, dan tak menyangka-nyangka apa yang telah kami capai dan lakukan saat itu. Berada ditengah hutan malam-malam, jauh dari rumah, dan kehidupan manusia, berdua, dikesunyian malam, suatu kegiatan yang anti-mainstream yang dilakukan seseorang manusia saat malam minggu. Saat kami beristirahat, kami mematikan senter kami untuk mencegah perhatian dari binatang liar yang disitu, dan sembari menghemat batere senter kami. Gelap-gelapan ditemani bintang-bintang ditengah hutan. Kami bersyukur kalau saat itu tidak hujan, tidak bisa dibayangkan dengan medan yang terjal, dibasahi air hujan, dan saat hari gelap pula kami mendaki. Walaupun sempat tercakap kami dengan ego yang tinggi, kami bakal tetap mendaki walaupun hujan. Setelah mendaki, kami baru sadar kalau pemikiran kami terlalu nekat, dan kami kembali bersyukur Tuhan tidak menghukum kami saat itu. Suara keramaian yang kami dengar perlahan lahan menghilang, kami lanjutkan perjalanan kami setelah 15 menit berlalu, dan ternyata perjalanan kami tidak sedekat yang kami pikirkan.
Entah kami tersesat, atau apa, perjalanan kami semakin panjang, semakin terjal, jalan semakin kecil, dan salah sedikit, bisa terpleset ke jurang. Medan yang kami jalani semakin susah, yang awalnya bisa dilalui hanya dengan berjalan, menjadi medan yang harus dipanjat. Kami berulang kali hampir tersesat dan berakhir di jalan buntu. Jalur 54 memiliki simpang simpang, yang jika salah bisa tersesat. Saya disini kagum dengan patner saya Sinarta, dia memimpin lebih baik di hutan dibanding jika kami berpergian di jalan kota, skill tracking untuk menemukan jejak yang dilalui orang sangat baik, apalagi saat malam hari. Untuk seorang pemula, mungkin ini bakat awalnya untuk tinggal dihutan. Congrats, Sinarta.
Sudah 2 jam berlalu setelah kejadian di campsite tersebut, kami belum
kunjung sampai ke puncak. Walau badan sudah mulai sangat letih, harapan
sudah mulai pudar, untungnya kami mempunyai niat dan satu pemikiran, kami tidak
akan berhenti sebelum sampai di puncak, kami tidak akan menebarkan kemah kami
dihutan, kami harus tetap lanjut walaupun sudah lewat tengah malam. Inilah
alasan mengapa saya juga tetap memberanikan diri mendaki, walaupun hanya berdua
kami satu pikiran, satu tujuan. (#NoHomo). Bayangkan saja jika kami membawa teman-teman
yang maaf kata, manja atau semacamnya. Bakal jadi kesalahan kami jika terjadi
kenapa-kenapa, karena dari awal kami nekat-nekatan dan tidak tau medan yang
kami hadapi. Karena itu disarankan jangan asal sembarang membawa teman, karena
bakal memperberat perjalanan anda. Jalur 54 merupakan jalur yang biasa dilalui
anak-anak Mahasiswa Pencinta Alam, anak-anak yang sudah dilatih untuk
menjalalani medan medan seperti ini, bukan jalur sembarang orang, paling tidak
bawa salah satu Mapala atau yang sudah tau jalurnya untuk melalui jalur ini.
Rintangan-rintangan yang dijumpai beragam seperti memanjat batu batuan, melewati patahan pohon yang mengharuskan kita untuk tunduk setunduknya, dan melewati jalanan licin yang sedikit terpleset masuk jurang. Rintangan yang paling sulit kami lalui adalah saat kami jumpai patahan pohon yang besar, bercabang 2, satu turunan mengarah jurang, dan satu lagi menaik, namun jalannya luput terlihat saat itu. Jalannya seakan akan mengarahkan kalau kami harus melalui turunan tersebut, untungnya kami masih konsentrasi, dan akhirnya mendapat jalur yang benar, jalur yang nyaris tak terlihat tersebut.
Jam sudah menunjukan pukul 00.00, kami sudah 6 jam berada didalam hutan, puncak gunung belum nampak, dan tinggi-tingginya pohon pohon hutan tidak kunjung habis. Sinarta muak jika saya selalu mengatakan, "kayaknya ini sudah mau nyampe". Sampai saya memutuskan untuk menutup mulut dan tidak berharap banyak.
Sempat saya mendaki dengan semangat karena merasa sudah mau sampai, pohon pohon sudah tidak nampak, satu persatu batu saya panjati lebih cepat dari sebelumnya, karena saya yakin saya sudah dekat, langit sudah terlihat saat itu. Namun setelah sampai diatasnya, harapan saya benar-benar putus, memang sudah tidak nampak lagi pohon, kami berada di puncak bukit, namun anehnya tidak ada tanda kehidupan.
Pandangan menyedihkan yang saya lihat, ketika tidak ada kehidupan disana hanya semak belukar, dan ada puncak gunung disebrang jurang, saya pikir kami salah gunung.
Kembali saya salut dengan kawan saya, dia tetap semangat mencari jalur, menembus semak-semak tersebut, dan akhirnya kami menemukan ada beberapa tenda, suara orang yang bersendagurau, beberapa cahaya dari kejauhan, kami akhirnya sampai.
Hampir terharu kami sampai dengan selamat, tepatnya pukul 00.30 lewat. Saat
itu langsung disambut pendaki lain yang menggunakan jalur lain. Mereka
terheran-heran melihat kami, dua orang manusia, keluar dari hutan, jam tengah
malam.
Beban berat kami langsung kami letakkan, saya langsung duduk, dari ketinggian ini kota Medan bisa terlihat. Karena gelap, saya juga seperti melihat dari kejauhan di puncak lain ada orang lain yang menggelar kemahnya, bernyanyi-nyanyi. Dari informasi yang kami dapat dari tetangga kemah kami, kalau puncak lain tersebut merupakan jalur awal, dan sudah banyak yang kemah disana, karena ragu, Sinarta bersikeras kalau mau melanjutkan untuk mendaki lagi mencapai tempat tersebut, karena takut tidak kedapatan sunrise dari tempat kami sekarang ini. Karena saya melihat cukup jauh, saya lebih menekankan untuk tetap menggelar kemah disini dibanding mendaki lagi mencapai spot tersebut. Penyakit keras kepala Sinarta kambuh, dia mau tetap mendaki, sempat kami berselisih paham disini, dan akhirnya saya berhasil meyakinkan Sinarta untuk stay ditempat ini dibanding lanjut, karena waktu yang tidak memungkinkan lagi, belum lagi kami menggelar kemah, dan menyiapkan alat alat, saat itu kami juga belum makan. Menggelar kemahpun kami awalnya bersalahan, untungnya tetangga kami yang mirip Virza Idol mau membantu kami. Pukul 02.30 setelah urusan kemah, dan perut usai, kami memutuskan untuk beristirahat, walaupun bang Virza mengajak untuk menghangatkan diri di depan api unggun sambil bernyanyi nyanyi tembang Iwan Fals, Api Unggun.
Yang mengganggu pikiran kami setelah sampai ialah suara keramaian di tengah hutan yang kami dengar, karena setelah mendaki lagi, puncak Sibayak ternyata masih sangat jauh, dan kami merupakan satu satunya pendaki yang menggunakan jalur tersebut. Kalaupun mereka ada didepan kami, mengapa suara mereka hanya bertahan sekitar 15-20 menit saja. Semoga saja suara tersebut hanya suara keramaian dari desa yang dekat hutan tersebut, walaupun kalau dipikir-pikir mustahil.
Penggunaan sleeping bag disini sangat diperlukan karena dinginnya udara di Gunung Sibayak, menusuk sampai ketulang. Bahkan sangking dinginnya, badan susah digerakkan pada pagi hari, entah karena kami kelelahan atau apa, Sinarta yang sempat bersikeras untuk melihat sunrise pada pagi haripun takluk oleh kedinginan ini sampai dia tidak bisa beranjak dari sleeping bagnya.
Pemandangan
sunrise memang suatu moment yang
dinanti-nantikan para pendaki Sibayak, belum sampai jam 7 pagi orang-orang
sudah beramaian mendaki kepuncak untuk melihat pemandangan tersebut. Saat itu
kami baru sadar ternyata pendaki Sibayak di akhir pekan sangatlah ramai, apalagi
di daerah Kawah.
Pukul 09.00 kami sudah bersiap siap untuk pulang, dan kali ini kami memilih jalur biasa, yang kami pikir dekat, ternyata jalurnya juga lumayan jauh butuh kurang lebih 1 setengah jam lebih untuk mencapai kaki gunung. Sampai dikaki gunung kami turun lagi ke Gundaling dengan jalan kaki sampai mendapati angkot yang akan mengantarkan kami ke Tugu Berastagi, dari situ kami naik Sinabung menuju Penatapan tempat kami memarkirkan kendaraan kami. Total biaya pulang kami kurang lebih 17ribu/orang.
Diperjalanan pulang kami melalui anak tangga gunung Sibayak, ada
insiden dimana ada orang iseng berteriak kehutan yang menyebabkan para
monyet-monyet gunung berteriak-teriak histeris dengan saat
kencang. Melihat kejadian itu kami lebih bersyukur karena saat kami
mendaki selama 6 jam di Hutan, kami tidak diganggu oleh hewan-hewan seperti
itu, bahkan hewan hewan yang beraktivitas nokturnal jarang kami jumpai.
Gunung Sibayak memang sudah sangat biasa didaki, anda dapat mencapai gunung ini dengan mudah jika menggunakan jalur biasa. Cerita ini bukan soal bagaimana kami berdua mendapatkan foto sunrise di gunung Sibayak, bernarsis-ria di atas puncak Gunung, atau semacamnya. Ini cerita tentang bagaimana kami berhasil mencapai Gunung Sibayak dengan cara yang susah. Menelusuri hutan saat malam hari dengan bermodalkan senter Alfamart, dan menenteng beban yang berat, mendaki untuk mencapai kepuncak Sibayak. Ini soal Survival of the Fittest, ini tentang kemampuan adaptasi, kami pendaki pemula atau noobs yang diuji Gunung Sibayak menjadi pendaki berpengalaman, atau battle-tested, and with some God's Grace, then we did it. Menjadi satu cerita yang berkesan jika diceritakan di hari tua kelak, suatu cerita yang cukup kami banggakan. Menelusuri hutan saat malam hari, dengan salah satu seorang sahabat, bersabar, tetap fokus untuk mencapai tujuan. It is all about survival.
Gunung ini memiliki tiga jalur pendakian;
Yang pertama, Jalur dengan tingkat kesulitan yang terbilang mudah , atau biasanya di sebut jalur turis/jalur pariwisata. Jalur ini terletak di desa Jaranguda, 10 Km dari Kota Berastagi. waktu pendakian kurang lebih 1-2 setengah jam.
Jalur Kedua, dengan tingkat kesulitan sedang , terletak di desa Semangat gunung di daerah pemandian air panas Sidebuk debuk.
Jalur ketiga, yaitu jalur yang paling sulit yang biasa disebut jalur 54, terletak di penatapan, tepatnya di penatapan yang dimana orang orang cenderung berfoto foto, karena memiliki view lebih bagus dibanding penatapan lainnya. Pada jalur ini lebih menggunakan jalur hutan, makanya terbilang ekstrim.
Awalnya ide mendaki ini muncul dari kawan saya Sinarta yang memiliki jalan pikir cukup berbeda dari manusia manusia biasanya. Sinarta memiliki target hidup yang cukup berbeda, "Trik, kita liburan ke hutan yok! 2-3 hari kita tinggal di hutan, bermodalkan pisau untuk bertahan hidup, gimana?"
Ini bukan rekayasa, Sinarta memang demikian, pernah lagi sangking frustasinya saat menghadapi ujian di kampus kami,
"Entahlah we, kayaknya aku gak cocok di kedokteran, gimana kalau nanti besar aku tinggal di hutan aja ya. Kayaknya lebih tenang.."
Sedikit intro untuk patner saya, Sinarta. Namun karena idenya ini yang buat saya berpikir untuk melewati jalur 54, dan kebetulan saat itu juga ada adik junior kami yang mendaki melewati jalur hutan hutan. Maka untuk mencapai satu target hidup dari seorang Sinarta, maka kami mendaki Sibayak menggunakan jalur tersebut.
Awalnya kami tidak tau nama jalurnya adalah jalur 54, setelah mencari info dari berbagai blog di internet, barulah kami tau seluk beluk mengenai jalur-jalur di Gunung Sibayak seperti yang dijelaskan di atas, dan bukannya saya mau menjelek-jelekkan blog tetangga, namun setelah menjalani jalur 54, belum ada blog yang saya rasa cukup akurat untuk menjelaskan ke ekstriman jalur tersebut. Bahkan kami tertipu kalau jalur tersebut membutuhkan 2-3 jam untuk mendaki, atau entah kami yang terlalu bodoh dalam mendaki sehingga perjalanan kami totalnya menjadi kurang lebih 6 jam.
Untuk mengetahui gambaran jalur tersebut, silahkan cek dari YouTube ada 2 video dokumentasi yang merekam perjalanan mereka menggunakan jalur 54.
Kami tidak berhasil menyimpan foto gimana terjalnya jalur tersebut, karena kami pergi saat malam hari. Ya, malam hari, kami si bodoh-bodoh yang malang, yang tidak punya pengalaman mendaki, dan tidak tahu jalur tersebut nekat-nekatan mendaki menggunakan jalur tersebut pada malam hari. Kalau diumpamakan di film film horror, kami lah orang orang yang sok belagu, yang jadi korban pertama hantunya...
Persiapan kami sebenarnya cukup maksimal, 3 hari sebelum pendakian kami mempersiapkan alat, bahan dan survey ketempatnya. Saat survey, di hutan sana sebenarnya kalau berangkat siang sangat simpel, karena di hutan sana ada pita-pita yang sangat membantu untuk menuntun jalur kita, yang dibutuhkan buat teman-teman yang mau mendaki ialah kesiapan fisik, karena memang jalur yang dilalui sangat jauh jadi sangat melelahkan. Untuk ke penatapannya bisa menggunakan mobil sendiri, bisa dititipkan di penatapan tersebut, atau jika tidak merasa aman, bisa menggunakan Sinabung/Borneo.
Untuk alat kemah dan lain-lain, saya rekomendasikan untuk menyewa di Sohib Camp, di ruko yang terletak di simpang RingRoad setiabudi, tepat sebelum lampu merah, servicenya sangat baik dan alatnya cukup lengkap. Hanya pasukan saja kami yang tidak punya, banyak teman-teman kami yang berhalangan untuk bisa ikut mendaki. Entah mereka juga menolak karena berpikir kalau kami sedikit gila, karena itu akhirnya kami mendaki hanya berdua saja.
Bisa naik ke gunungnya naik mobil, ini malah lewat hutan- Tria Saragih, pacar.
Dengan pengalaman minim, modal seadanya, dan keberanian yang berlebihan, kami mendaki pada 14 Maret 2015, pada pukul 17.30. Karena dari awal kami hanya berdua, jadi untuk membawa perlengkapan, ada sekitar kurang lebih 15-16 kg perorang, kami cukup terbebani. Kami yang berangkat sore awalnya memiliki tantangan untuk menjaga stamina saat mendaki, karena ini sangat melelahkan, mendaki dengan beban dan tanpa beban sangat jauh berbeda. Tubuh yang belum beradaptasi dengan perubahan kadar oksigen saat mendaki, dan beban berat tersebut cukup membuat jantung berdebar kencang, apalagi buat orang-orang yang masih tergolong jarang berolahraga.
Kemudian tantangan kami muncul saat hari sudah mulai gelap, walaupun petunjuk jalan yang berupa pitanya tampak selalu ada untuk menuntun kami setiap 5-15 meter, namun saat hari gelap, susah untuk menemukan pita tersebut, karena panjang pita yang diikatkan tergolong pendek.
Masih teringat jelas di pikiran kami, pengalaman yang cukup menakutkan, disaat maghrib menjelang malam, ditengah kesunyian hutan, saat semua serangga dan binatang berbunyi bunyi saling bersahutan, dan semakin keras suaranya saat kami melangkah, seakan akan mereka sangat dekat dengan kami. Saat itu kami hanya bisa terdiam, karena tidak mau menarik perhatian mereka.
Hari makin gelap, pita-pita petunjuk semakin susah ditemukan, yang saya tidak habis pikir sempat-sempatnya saya menegur Sinarta karena dia bersikeras untuk menggunakan Pen Light (alat senter kedokteran yang digunakan untuk melihat reflek mata) untuk melihat jalan yang kami lalui, Sinarta memang ajaib. Untung kami membawa senter yang cukup baik untuk menuntun jalan kami, tanpa senter itu mungkin kami bakal tersesat bahkan tidak sampai tujuan, padahal kami nyaris tidak membawa senter karena susah mendapatkan senter batere sekarang, kami menemukan senter ini saja di Alfamart daerah RSU. Adam Malik, ragu pula kami beli karena kemahalan.
Karena kami dari awalnya sudah membaca blog mengenai jalur ini (yang sesat) sepanjang jalan kami terus berharap kalau jalur ini dapat di tempuh 3-4 jam, harapan kami terus hidup sampai saat pukul menunjukan jam 8.30, kami beristirahat di salah satu camp site yang pernah digunakan anak anak Mapala, saat itu terdengar suara perempuan berteriak teriak seperti bermain main, ramai-ramai, dan ada suara laki-laki juga, seakan akan kami memang sudah dekat dengan puncak Sibayak, saat itu harapan kami makin besar, kami senang bahwa tujuan kami sudah dekat. Kami beristirahat cukup lama disitu, bercerita cerita, dan tak menyangka-nyangka apa yang telah kami capai dan lakukan saat itu. Berada ditengah hutan malam-malam, jauh dari rumah, dan kehidupan manusia, berdua, dikesunyian malam, suatu kegiatan yang anti-mainstream yang dilakukan seseorang manusia saat malam minggu. Saat kami beristirahat, kami mematikan senter kami untuk mencegah perhatian dari binatang liar yang disitu, dan sembari menghemat batere senter kami. Gelap-gelapan ditemani bintang-bintang ditengah hutan. Kami bersyukur kalau saat itu tidak hujan, tidak bisa dibayangkan dengan medan yang terjal, dibasahi air hujan, dan saat hari gelap pula kami mendaki. Walaupun sempat tercakap kami dengan ego yang tinggi, kami bakal tetap mendaki walaupun hujan. Setelah mendaki, kami baru sadar kalau pemikiran kami terlalu nekat, dan kami kembali bersyukur Tuhan tidak menghukum kami saat itu. Suara keramaian yang kami dengar perlahan lahan menghilang, kami lanjutkan perjalanan kami setelah 15 menit berlalu, dan ternyata perjalanan kami tidak sedekat yang kami pikirkan.
Entah kami tersesat, atau apa, perjalanan kami semakin panjang, semakin terjal, jalan semakin kecil, dan salah sedikit, bisa terpleset ke jurang. Medan yang kami jalani semakin susah, yang awalnya bisa dilalui hanya dengan berjalan, menjadi medan yang harus dipanjat. Kami berulang kali hampir tersesat dan berakhir di jalan buntu. Jalur 54 memiliki simpang simpang, yang jika salah bisa tersesat. Saya disini kagum dengan patner saya Sinarta, dia memimpin lebih baik di hutan dibanding jika kami berpergian di jalan kota, skill tracking untuk menemukan jejak yang dilalui orang sangat baik, apalagi saat malam hari. Untuk seorang pemula, mungkin ini bakat awalnya untuk tinggal dihutan. Congrats, Sinarta.
![]() |
Hutan yang berwarna hijau gelap
di gunung itulah, jalur 54.
|
Rintangan-rintangan yang dijumpai beragam seperti memanjat batu batuan, melewati patahan pohon yang mengharuskan kita untuk tunduk setunduknya, dan melewati jalanan licin yang sedikit terpleset masuk jurang. Rintangan yang paling sulit kami lalui adalah saat kami jumpai patahan pohon yang besar, bercabang 2, satu turunan mengarah jurang, dan satu lagi menaik, namun jalannya luput terlihat saat itu. Jalannya seakan akan mengarahkan kalau kami harus melalui turunan tersebut, untungnya kami masih konsentrasi, dan akhirnya mendapat jalur yang benar, jalur yang nyaris tak terlihat tersebut.
Jam sudah menunjukan pukul 00.00, kami sudah 6 jam berada didalam hutan, puncak gunung belum nampak, dan tinggi-tingginya pohon pohon hutan tidak kunjung habis. Sinarta muak jika saya selalu mengatakan, "kayaknya ini sudah mau nyampe". Sampai saya memutuskan untuk menutup mulut dan tidak berharap banyak.
Hope is a dangerous thing- Morgan Freeman, Shawshank Redemption
Sempat saya mendaki dengan semangat karena merasa sudah mau sampai, pohon pohon sudah tidak nampak, satu persatu batu saya panjati lebih cepat dari sebelumnya, karena saya yakin saya sudah dekat, langit sudah terlihat saat itu. Namun setelah sampai diatasnya, harapan saya benar-benar putus, memang sudah tidak nampak lagi pohon, kami berada di puncak bukit, namun anehnya tidak ada tanda kehidupan.
"Tak, kita salah naik gunung!
Pandangan menyedihkan yang saya lihat, ketika tidak ada kehidupan disana hanya semak belukar, dan ada puncak gunung disebrang jurang, saya pikir kami salah gunung.
Kembali saya salut dengan kawan saya, dia tetap semangat mencari jalur, menembus semak-semak tersebut, dan akhirnya kami menemukan ada beberapa tenda, suara orang yang bersendagurau, beberapa cahaya dari kejauhan, kami akhirnya sampai.
![]() |
Puncak tertinggi Sibayak
|
![]() |
Semak belukar yang menutupi
puncak saat itu.
|
Dari jalur mana kalian bang?""Jalur 54..""Wiiii
Beban berat kami langsung kami letakkan, saya langsung duduk, dari ketinggian ini kota Medan bisa terlihat. Karena gelap, saya juga seperti melihat dari kejauhan di puncak lain ada orang lain yang menggelar kemahnya, bernyanyi-nyanyi. Dari informasi yang kami dapat dari tetangga kemah kami, kalau puncak lain tersebut merupakan jalur awal, dan sudah banyak yang kemah disana, karena ragu, Sinarta bersikeras kalau mau melanjutkan untuk mendaki lagi mencapai tempat tersebut, karena takut tidak kedapatan sunrise dari tempat kami sekarang ini. Karena saya melihat cukup jauh, saya lebih menekankan untuk tetap menggelar kemah disini dibanding mendaki lagi mencapai spot tersebut. Penyakit keras kepala Sinarta kambuh, dia mau tetap mendaki, sempat kami berselisih paham disini, dan akhirnya saya berhasil meyakinkan Sinarta untuk stay ditempat ini dibanding lanjut, karena waktu yang tidak memungkinkan lagi, belum lagi kami menggelar kemah, dan menyiapkan alat alat, saat itu kami juga belum makan. Menggelar kemahpun kami awalnya bersalahan, untungnya tetangga kami yang mirip Virza Idol mau membantu kami. Pukul 02.30 setelah urusan kemah, dan perut usai, kami memutuskan untuk beristirahat, walaupun bang Virza mengajak untuk menghangatkan diri di depan api unggun sambil bernyanyi nyanyi tembang Iwan Fals, Api Unggun.
Yang mengganggu pikiran kami setelah sampai ialah suara keramaian di tengah hutan yang kami dengar, karena setelah mendaki lagi, puncak Sibayak ternyata masih sangat jauh, dan kami merupakan satu satunya pendaki yang menggunakan jalur tersebut. Kalaupun mereka ada didepan kami, mengapa suara mereka hanya bertahan sekitar 15-20 menit saja. Semoga saja suara tersebut hanya suara keramaian dari desa yang dekat hutan tersebut, walaupun kalau dipikir-pikir mustahil.
Penggunaan sleeping bag disini sangat diperlukan karena dinginnya udara di Gunung Sibayak, menusuk sampai ketulang. Bahkan sangking dinginnya, badan susah digerakkan pada pagi hari, entah karena kami kelelahan atau apa, Sinarta yang sempat bersikeras untuk melihat sunrise pada pagi haripun takluk oleh kedinginan ini sampai dia tidak bisa beranjak dari sleeping bagnya.
![]() |
SO FUCKIN' GAY! |
Pukul 09.00 kami sudah bersiap siap untuk pulang, dan kali ini kami memilih jalur biasa, yang kami pikir dekat, ternyata jalurnya juga lumayan jauh butuh kurang lebih 1 setengah jam lebih untuk mencapai kaki gunung. Sampai dikaki gunung kami turun lagi ke Gundaling dengan jalan kaki sampai mendapati angkot yang akan mengantarkan kami ke Tugu Berastagi, dari situ kami naik Sinabung menuju Penatapan tempat kami memarkirkan kendaraan kami. Total biaya pulang kami kurang lebih 17ribu/orang.
Gunung Sibayak memang sudah sangat biasa didaki, anda dapat mencapai gunung ini dengan mudah jika menggunakan jalur biasa. Cerita ini bukan soal bagaimana kami berdua mendapatkan foto sunrise di gunung Sibayak, bernarsis-ria di atas puncak Gunung, atau semacamnya. Ini cerita tentang bagaimana kami berhasil mencapai Gunung Sibayak dengan cara yang susah. Menelusuri hutan saat malam hari dengan bermodalkan senter Alfamart, dan menenteng beban yang berat, mendaki untuk mencapai kepuncak Sibayak. Ini soal Survival of the Fittest, ini tentang kemampuan adaptasi, kami pendaki pemula atau noobs yang diuji Gunung Sibayak menjadi pendaki berpengalaman, atau battle-tested, and with some God's Grace, then we did it. Menjadi satu cerita yang berkesan jika diceritakan di hari tua kelak, suatu cerita yang cukup kami banggakan. Menelusuri hutan saat malam hari, dengan salah satu seorang sahabat, bersabar, tetap fokus untuk mencapai tujuan. It is all about survival.
We Climbed the Hill in Our Own Way!
Masih terharu aku sampe sekarang trik :'') *ambiltisu
BalasHapus