Satu Malam di Puncak Tertinggi Sumatera Utara



Gunung Sibuatan merupakan gunung tertinggi di tanah Sumatra Utara, ketinggiannya mencapai 2.457 MDPL. Ketinggian gunung ini mengalahkan ketinggian Gunung Sibayak, dan Gunung Sinabung, secara titik ketinggian Gunung Sinabung sebenarnya melebihi ketinggian gunung Sibuatan, Sinabung memiliki titik ketinggian mencapai 2.460 MDPL, tetapi Sinabung merupakan Gunung Berapi aktif, sehingga puncaknya dapat berubah-ubah, dengan demikian puncak tertinggi tetap dimiliki oleh Gunung Sibuatan. Gunung ini terletak di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Gunung Sibuatan memiliki hutan hujan tropis dengan vegetasi lumut yang menghiasi hampir ¾ bagian hutannya. Walaupun merupakan kawasan hujan tropis, kawasan hutan Sibuatan tidak memiliki sumber mata air. Irigasi yang tersedia hanya di sekitaran pintu rimba gunung Sibuatan yang merupakan kawasan ladang penduduk sekitar.Gunung ini memiliki 2 Jalur yaitu Jalur Barat (desa Pancur Batu) dan Jalur Timur (desa Nagalingga), yang membedakan kedua jalur ini adalah waktu yang dapat ditempuh, katanya jalur Timur memiliki waktu pendakian yang terkesan lebih singkat dibanding jalur Barat, namun karena lebih singkat jalur yang harus dilalui dari jalur Timur terkesan lebih ekstrim, sehingga kami memutuskan menggunakan jalur Barat, jalur yang biasanya dipakai oleh para pendaki.Waktu tempuh pendakian gunung sibuatan membutuhkan waktu 5 sampai 9 jam. Puncak Sibuatan di tandai dengan semacam tugu perbatasan. Dengan jalur tracking yang pendek antara menajak dan menurun. Kondisi jalur yang di dominasi tanah akan memberatkan langkah jika dalam kondisi musin hujan. Dan terdapat gardu pepohonan seperti diselimuti lumut yang hampir selalu basah. Dibeberapa lokasi akan ditemukan tumbuhan kantung semar yang masih memiliki pesona tersendiri. Panorama utama yang bisa disaksikan dari gunung Sibuatan yaitu kawasan hutan hujan tropis yang masih alami di sepanjang Bukit Barisan serta tanaman perdu yang masih kecil. Pemandangan yang disajikan berupa panorama Danau Toba & Pulau Samosir disebelah Timur. Di sebelah Utara, terdapat panorama Kota Berastagi, Gunung Sibayak dan Gunung Barus. Disebelah selatan kita dapat menyaksikan garis cakrawala Pantai Barat Sumatera yang memanjang dari Aceh Selatan sampai Sibolga. Dan disebelah Barat, kita dapat menyaksikan Gunung Sinabung, Taman Nasional Gunung Leuser dan Kota Kabanjahe.


Formulir Pendaftaran

Awalnya kami belum tau dimana lokasi pintu Rimba Gunung Sibuatan, bahkan kami belum tau desa Nagalingga itu dimana sehingga kami berangkat dari Medan menuju Desa Nagalingga pada pukul 04.00 dini hari. Menempuh kurang lebih 3 jam perjalanan kami tiba di Desa Nagalingga, kami yang menggunakan mobil tipe SUV nekat menerobos masuk Desa itu tanpa tanya sana-sini, alhasil kami sempat tersesat di jalan desa yang cukup tidak bersahabat dengan mobil kami. Untung saja ada anggota GEMPARI yang membantu kami, dan menuntun kami ke posko Pendaftaran untuk registrasi, syarat pendakiannya ialah meninggalkan kartu identitas (Ketua Pendakian), mengisi formulir dan mencatat segala macam logistik yang kita bawa ke Sibuatan (karena mereka tidak mau kita merusak alam dengan meninggalkan sampah dengan sembarang) Uang restribusi dikenakan 10.000/orang. Kita diperbolehkan mendaki jika cuacanya baik, waktu start pendakian yang diperbolehkan ialah jam 08.00-13.00, dan pulang tidak boleh melebihi jam 18.00, kalau lebih dari jam segitu dalam turun mendaki maka akan di susul oleh tim GEMPARI untuk jaga-jaga(dikenakan denda juga).  Setelah semua syarat registrasi dipenuhi dan mendengar instruksi dari ranger GEMPARI, jam 09.00 kami memulai pendakian.
Here We Go Again!
Pendakian ini sebenarnya tidak begitu perlu menggunakan guide, karena trek yang dijalani terbuka lebar namun terbilang cukup ekstrim dibanding mendaki Sibayak menggunakan jalur 54 yang pernah saya jalani. Trek yang dijalani sangat lembab, sangat mudah menjadi lumpur jika gunung tersebut baru diguyur hujan, sehingga kita diwajibkan kotor dalam mendaki gunung itu, apalagi untuk mendaki kita sangat bergantung pada ranting ranting dan akar-akar pohon agar tidak terpeleset, hal ini yang membuat jalur pendakian ini lebih menantang.
Istirahat
Terdapat 7 poin yang perlu dilalui dalam pendakian ini, berawal dari pintu Rimba, kemudian Shelter 1, lanjutkan Shelter 2, 3, 4 dan 5, kemudian yang terakhir Puncak Gunung. Trek yang menurut kami susah dan membutuhkan waktu lama ialah trek dari Shelter 2-3, dan 3-4, karena harus mendaki sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama, trek 4-5 terbilang paling singkat, disana kita akan mendapati savana gunung ini, yang menandakan bahwa puncak sudah dekat. Pada Shelter 5, kita sudah mendapatkan pemandangan yang bisa kita saksikan di puncak, karena Shelter 5 dan puncak juga terbilang sangat dekat. Pada Shelter 5 juga kita baru dapat menebar kemah kita untuk menginap. Saat itu kami merupakan satu satunya tim pendaki yang mendaki pada hari itu.






Kami menjalani pendakian ini dengan lancar, sampai kami mendapati shelter 5, disana cerita kami dimulai. Kami mencapai shelter 5 pada pukul 16.00, suasana saat itu sudah tidak bersahabat seperti saat kami memulai pendakian. Kabut sangat tebal saat itu, bahkan saat mencapai savana pandangan kami sudah terhalang kabut tebal. Waktu itu saya ingat teman saya Hendra Zit yang tertinggal dibelakang menjadi tinggal bayangan dikarenakan kabut yang sudah menyelubungi gunung itu sangat tebal, tetes-tetes hujan mulai berjatuhan dari langit, awalnya yang kami pikir tetesan embun ini lama-lama menjadi turun dengan deras. Setibanya di Shelter 5, kami diguyur hujan deras. Suasana tersebut semakin parah ditambah dengan suhu dingin dan angin kencang dari gunung itu, kami untuk pertama kalinya telah merasakan bagaimana rasanya hipotermia. Kami awalnya bingung apakah kami mendirikan kemah kami saat itu atau tetap melanjutkan perjalanan sampai ke titik puncak, namun karena di puncak kami tidak bisa mendirikan kemah (berdasarkan info dari GEMPARI) maka kami memutuskan untuk mendirikan kemah di shelter tersebut. (Sangking bingungnya, kami tidak mendirikan di camping area yang disediakan).
The Mist
Kami segera menyiapkan kemah kami dan masuk untuk berteduh dari hujan deras tersebut, memakai sleeping bag yang kami punya untuk menghangatkan badan kami. Kami yang beranggotakan 6 orang ini pun kesusahan untuk mengatur posisi tidur dalam 1 kemah. Untungnya karena kami berdesak-desakan kami dapat membuat suhu di kemah cukup hangat.
Survive? But first lemme take a selfie!
Dengan situasi seperti itu, kami hanya bisa berdiam menghangatkan badan di dalam kemah kami, berharap hujan segera berhenti sehingga kami bisa menghangatkan badan dengan menyalakan api(walaupun dilarang). Namun sepertinya dewi fortuna tidak bersama kami saat itu, gunung tersebut seakan-akan tidak menerima kami. Hujan semakin deras, angin bertambah kencang, kabut tidak kunjung pergi, bahkan pada pukul 20.00 muncul kilat-kilat diatas langit. Suasana semakin mencekam, kami memutuskan berdoa, berharap kami tidak kenapa-kenapa saat itu. Bahkan saat itu sempat terpikirku apakah kami masih bisa selamat sampai besok.
Suasana semakin dingin, bahkan salah satu teman kami, Libert menggigil dengan tidak semestinya dan badannya mulai demam, kami segera memberikan obat yang kami sediakan untuk membantu Libert agar tidak semakin parah. Kami berusaha menghangatkan badan kami dengan segala cara, mulai dari bercerita-cerita tentang masalah kampus, jodoh, makan kacang sampai menyempatkan untuk memasak air panas dengan kompor saat hujan tidak begitu deras, kami memasak air panas untuk membuat makanan pop mie dan bandrek sachet yang kami punya. Makanan sederhana tersebut terasa sangat luar biasa diwaktu-waktu kritis tersebut. Semalaman kami harus bertahan di kemah karena kehujanan, pada malam itu kami belajar bagaimana untuk bertahan hidup ditengah badai, dan tentunya di puncak gunung yang jauh dari kehidupan manusia.
Bandrek Dewa

 Hujan tak kunjung berkurang, bahkan semakin deras pada subuhnya, kami memutuskan untuk beristirahat karena kamipun sebelum mendaki belum cukup istirahat karena sibuk dengan aktivitas masing-masing. Hujan mulai reda, kabut mulai berkurang pada pukul 07.00, matahari mulai mengintip dari balik awan(tentu saja kami tidak bisa merasakan sunrise saat itu). Pada pukul 08.00 suasana semakin baik, akhirnya kami bisa keluar dari sarang kami dan mulai beraktivitas. Kompor kami nyalakan kembali untuk membuat air hangat, kamera mulai kami bawa keluar untuk mendokumentasikan pemandangan yang indah, bahkan kami tidak menyangka bahwa kami bisa melihat danau Toba dari gunung ini, dan yang paling penting kami bersyukur kami bisa merasakan pagi setelah mengalami badai semalam.
Kemudian kami suruh salah satu teman kami, si Jhon untuk lanjut mendaki untuk melihat apakah pemandangannya lebih baik, karena hasilnya sama saja maka kami berpikir untuk tidak melanjutkan ke puncak, dan menghemat energi kami untuk turun.
Pukul 09.00 kami memutuskan untuk beres-beres dan segera turun, karena kami takut terlalu siang dan terlalu sore untuk sampai ke pintu Rimba. Ternyata waktu yang dibutuhkan untuk turun lebih singkat, kami menempuh kurang lebih 4 jam untuk turun. Kami tiba dengan selamat di posko pada pukul 13.30, kami segera berbersih diri di sumber mata air, feels like heaven!

Everybody wants to reach the peak, but there is no growth on the top of a mountain.  It is in the valley that we slog through the lush grass and rich soil, learning and becoming what enables us to summit life’s next peak. - Andy Andrews

Walaupun terbilang kami tidak sampai di spot puncak, namun pendakian kali ini banyak mengajarkan kami tentang bagaimana bertahan hidup, bekerjasama menghadapi rintangan demi rintangan. Kami tidak sampai dipuncak seharusnya bukan karena kami tidak sanggup, kami belajar untuk bertahan, berpikir lebih keras agar kami sampai di kaki gunung dengan selamat. Apalah gunanya kami mendaki jika kami tidak bisa turun pada akhirnya? Ini akan tetap jadi kenangan yang tidak akan dilupakan, puncak tertinggi Sumatera Utara, Gunung Sibuatan berhasil kami taklukan, bahkan dengan badai sekalipun.
Bertahan hidup satu malam di puncak gunung dengan badai hujan? Kami sudah lalui itu pada 4 Juli 2015.
Each fresh peak ascended teaches something.- Sir Martin Convay 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.